Selalu Menyajikan Berita Terkini

Jumat, 15 Desember 2017

Kaleidoskop Hukum 2017: Vonis yang Tak Redupkan Sinar Ahok

http://news.liputan6.com/read/3194319/kaleidoskop-hukum-2017-vonis-yang-tak-redupkan-sinar-ahok

Kaleidoskop Hukum 2017: Vonis yang Tak Redupkan Sinar Ahok - Jutaan cahaya lilin menggantikan sinar bulan sejak hari itu. Hari di mana hakim memutus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersalah menodakan agama. Hari saat Indonesia menjadi sorotan dunia pada pertengahan 2017.

Tepatnya Selasa, 9 Mei 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menjatuhkan hukuman penjara selama 2 tahun kepada Ahok.

Vonis ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntutnya dengan hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. AGEN POKER INDONESIA TERBESAR
 
Hakim menilai perbuatan Ahok meresahkan warga dan dapat memecah antargolongan. Ahok juga merasa tidak bersalah, sehingga memberatkan hukumannya.

Kasus ini bermula dari pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Kala itu, Ahok menyambangi para nelayan dari berbagai pulau di satu-satunya kabupaten yang dimiliki DKI Jakarta.

Wajah para nelayan di Pulau Pramuka berbinar siang itu. Mereka berkumpul di tempat pelelangan ikan, di tepi pantai Pulau Pramuka untuk bertemu Ahok.

Terik matahari tak mengurungkan niat para nelayan untuk menghadiri undangan Dinas Perikanan DKI yang mengajak bekerja sama budidaya ikan kerapu.  AGEN CASINO TERBAIK
        Agen Bola Casino Poker Terbesar Terbaik Terpercaya

"Sistem kita 80:20, bapak ibu (ambil) 80 persen, yang 20 persen untuk koperasi," ujar Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, saat itu.

Namun, tawaran Ahok tak membuat para nelayan tertarik. Melihat reaksi datar nelayan, Ahok lantas teringat kasus di kampungnya, Bangka Belitung, dahulu, saat Pilgub Babel 2007.

Meski warga suka program yang ditawarkan, mereka mengaku tak dapat memilih Ahok. Maka, terucaplah kata-kata itu. Kalimat yang menjerat Ahok ke kasus penistaan agama hingga kurungan dua tahun penjara.

"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, enggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa enggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, enggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," kata Ahok saat itu.

"Program ini (budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu enggak usah merasa enggak enak karena nuraninya enggak bisa pilih Ahok," dia melanjutkan.  AGEN BOLA TERPERCAYA 
 
Tak ada protes atau penolakan dari warga saat mendengar perkataan Ahok itu. Semua berjalan normal setelah pidato itu, bahkan nelayan bertepuk tangan, berebut selfie dengan Ahok.

Esok harinya, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang pertama kali melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI, terkait pernyataan Ahok yang mengutip surat Al Maidah.

Ahok, seperti biasa, tak mau ambil pusing dengan laporan ACTA. "Semua orang boleh mengutip kitab suci. Kitab suci terbuka untuk umum," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Rabu 28 September 2016.

Bagi Ahok, dilaporkan dan didemo adalah "makanan" sehari-harinya. Menurut dia, tak ada yang salah dengan pernyataan mengutip ayat suci itu.

Hingga pada 7 Oktober 2016, Ikatan Pemuda Muhammadiyah (IPM) melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya. Laporan itu dilakukan 10 hari usai kunjungan Ahok ke Pulau Pramuka, dengan membawa video yang telah diedit Buni Yani.

Desakan pelaporan itu didorong dengan demo massa 411 atas tuduhan penistaan agama, hingga membuat kata maaf keluar dari bibir Mantan Bupati Belitung Timur itu.

"Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa," kata Ahok di Balai Kota, 10 Oktober 2016.

Namun, permintaan maaf Ahok tak digubris. Hal itu terlihat dari munculnya aksi lanjutan menolak Ahok yang dikenal aksi 212. Massa menuntut agar Ahok dipenjara.

Meski didemo besar-besaran, Ahok tetap menjalani kampanye pilkada dengan antusias dan tersenyum. Tak kalah antusias dengan warga yang selalu mengerubungi di tiap blusukan Ahok.

Namun, pada 13 Desember 2016, senyum Ahok mulai hilang. Di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tangis Ahok tumpah.

"Saya sangat sedih dituduh menista agama Islam, karena tuduhan itu sama saja saya dituduh menista orangtua dan kakak angkat saya yang sangat saya sayangi, dan mereka sangat menyayangi saya," ujar Ahok dengan suara tercekat menahan tangis.

Sejak pertama kali digelar, Selasa 13 Desember 2016, sidang Ahok memang menjadi sorotan publik. Baik kubu pro maupun yang kontra, selalu hadir ketika sidang dilaksanakan. Terutama saat sidang putusan pada 9 Mei 2017.

Sejak pagi, massa yang pro maupun kontra Ahok tumpah ruah di depan Gedung Kementan, Jakarta Selatan. Kedua kubu masing-masing dipisahkan oleh kawat berduri serta deretan pasukan pengamanan.

Pada aksinya, massa pro Ahok membawa tugu keadilan. Bangunan berukuran setinggi sekitar 2,5 meter itu berdiri dengan hiasan bunga-bunga kecil di bawahnya. Tugu tersebut terbuat dari kayu, gabus, dan diselimuti kain bertuliskan tugu keadilan.

Sementara massa kontra Ahok, lebih memilih memutar lagu-lagu rohani ataupun ceramah dari mobil komando.

Kepolisian pun menyediakan satu unit helikopter sebagai salah satu prosedur pengamanan maksimal di sidang vonis terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kala terjadi chaos. Selain untuk mengevakuasi Ahok, capung besi itu juga untuk kendaraan pengamanan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Ini SOP, mesti disiapkan kalau terjadi chaos," kata Kasubag Humas Polres Jakarta Selatan, Kompol Purwanta saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa 9 Mei 2017.

Purwanta menyebut, helikopter itu sudah terparkir di lapangan Kementerian Pertanian sejak pukul 06.00 WIB. Meski sudah disiagakan, belum tentu kendaraan itu akan digunakan untuk Ahok.

"Maka target sekarang kan yang disidang tidak boleh ada gangguan secara psikis maupun ini. Nah, itu kalau terjadi apa-apa ya untuk escape. Kita lihat eskalasi dari intelijen kalau nanti itu tidak digunakan, tidak apa," jelas dia.

Penggunaan helikopter itu tidak berbeda dengan mobil ambulans atau kendaraan siaga lain.

"Apabila hakim di tengah jalan sakit jantung atau apa, kan butuh escape lebih cepat ke rumah sakit. Sama dengan ambulans di sini kan ada tiga tuh. Itu kan bisa untuk wartawan, untuk kita. SOP-nya begitu, itu tergantung penggunaannya saja," Purwanta menandaskan.

Awak media pun tak mau kalah. Tak hanya media dalam negeri, jurnalis dari luar pun berlomba menjadi saksi vonis Ahok.

StraitsTimes mengangkatnya melalui tulisan "Jakarta on edge ahead of court verdict against Ahok". Media Singapura itu menuliskan jumlah pengamanan dalam sidang putusan Ahok mencapai 13 ribu petugas, berbeda dari biasanya yang hanya 3.000.

Dengan judul yang sama, media Malaysia The Star Online juga turut memberitakan sidang vonis Ahok.

Laman Australia, SBS.com.au turut mengangkatnya melalui tajuk "Jakarta court to rule on blasphemy case". Sementara media Inggris Reuters memuatnya dalam artikel "Verdict expected in blasphemy case against Jakarta's Christian governor".



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive